Sekelumit Hikah dan Pesan Sufi (2)



Sufi besar Ibrahim Ibn Adham, melihat seseorang larut dalam kesedihan, maka dia berkata kepadanya: "Akan kutanyai engkau tiga pertanyaan, jawablah dengan jujur. Yang pertama: Adakah yang terjadi di alam raya ini tanpa kehendak Tuhan?" Orang itu menjawab: "Tak ada! Semua atas kehendak-Nya." "Yang kedua," tanya Ibrahim, "apakah rezekimu berkurang dari apa yang telah ditetapkan Allah bagimu?" "Tidak! Apa yang telah ditetapkan-Nya tidak akan meleset." "Yang ketiga: Apakah berkurang ajalmu sesaat dari apa yang ditetapkan-Nya?" "Tidak! Apabila ajal datang, maka ia tidak dapat dimajukan, tidak juga diundur." Jawab yang bersedih, "kalau demikian, mengapa engkau larut dalam kesedihan? Bangkitlah!" kata Ibrahim Ibn Adham.

Seorang sufi bertanya, "Bagaimana keadaanmu?" Yang ditanya menjawab: "Alhamdulillah, jika aku memperoleh rezeki aku makan, dan jika tidak, aku bersabar." Sang sufi menjawab: "Begitulah anjing di daerah kami. Tetapi manusianya jika memperoleh rezeki dia berikan kepada yang butuh dan bila tidak memperolehnya dia bersyukur."

Satu ketika Umar Ibn Abdul Aziz ra. sedang dalam perjalanan bersama Sulaiman Ibn Abdul Malik. Ketika itu guntur dan kilat menyertai hujan, sehingga menggetarkan hati mereka. Tapi Umar ra. tersenyum dan berkata: "Ini rahmat Allah yang diturunkan-Nya, tetapi itu disertai dengan situasi yang menakutkan kita. Bayangkanlah rasa takut yang mencekam kalbu kita, jika yang diturunkan-Nya itu adalah murka-Nya."

Seorang sufi berdoa ketika sedang thawaf di Ka'bah dengan berucap: "Ya Allah, Kami menaati-Mu dalam hal yang Engkau paling sukai, yakni mengakui bahwa Engkau Maha Esa dan Tiada Tuhan Selain-Mu, kami juga tidak mendurhakai-Mu menyangkut apa yang Engkau benci, yakni mempersekutukan-Mu, maka Ya Allah ampunilah apa yang kami lakukan antara keduanya.

Sufi besar Hasan al-Bashri (w. 728 M) ditanyai tentang rahasia ketidakcenderungannya kepada nikmat duniawi. beliau menjawab: "Kuketahui bahwa rezekiku tidak mungkin diambil oleh orang lain, karena itu hatiku tenang. Kuketahui juga bahwa tugasku tidak dapat dikerjakan orang lain, maka aku tekun melaksanakannya. Kuketahui juga bahwa Allah mengetahui keadaanku, maka aku malu ditemui-Nya dalam kedurhakaan, dan kuketahui bahwa maut menantiku, karena itu aku menyiapkan bekal menghadap Allah.

Suatu ketika Sufyan ats-Tsauri berdoa di depan sufi besar Rabi'ah al-Adawiyah: "Ya Allah ridhailah kami." Mendengar doa itu Rabi'ah berkata: "Apakah engkau tidak malu memohon ridha-Nya sedang engkau sendiri belum ridha kepada-Nya?" Sufyan berkata: "Astaghfirullah, kapankah seseorang dinamai ridha kepada Allah?" Rabi'ah menjawab: "Kalau kegembiraannya ditimpa musibah setara dengan kegembiraannya memperoleh nikmat."


M. Quraish Shihab. "Logika Agama". 2005.

No comments:

Post a Comment