Habis Masa


Jika saja aku melewati masa-masaku dengan penuh rasa syukur
Karunia-Mu tak satu pun kan terlewat kurasakan Tuhan

Di ujung tahun-Mu ini aku meradang
Betapa waktu yang Kau beri terus menjauh
Masaku berkurang perlahan menghilang
Aku merana dengan sauh
Yang masih kupegang

Kayuh aku harus terus mengayuh
Mengejar kesempatan yang lari berjingkat
Tinggi jauh, teriring siasat
Dan kuterasih peluh menempuh

Sampai suatu saat masaku habis
Kuingin berhenti di peraduan-Mu tanpa tangis
Pun bukan dengan hati yang tergilas pulas
Tapi dengan kecupan manis
(dari-Mu Tuhan)

Ujian Nasional sebagai Standar Kompetensi Lulusan Siswa secara Nasional, Perlukah?


Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan dengan sistem yang digunakan dalam bidang pendidikan. Yang terakhir kurikulum yang digunakan dalam sistem pendidikan nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara substansi dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh tiap satuan pendidikan dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah yang berada di wilayah A dengan sekolah yang berada di wilayah B. Karena karakteristik suatu wilayah pasti berbeda sesuai dengan topografi dan kondisi budayanya.

Dengan kondisi wilayah yang berbeda dan pembelajaran yang berbeda maka targetan akhir pembelajaran setiap sekolah seharusnya berbeda. Mata pelajaran yang berbasis budaya lokal menentukan strategi belajar yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Guru sebagai fasilitator pembelajaran harus menyesuaikan metode dan pendekatan pembelajaran sesuai dengan kondisi siswa. Indikator pencapaian pembelajaran disesuaikan pula dengan relevansinya kebutuhan hidup dan kepentingan daerah tersebut. Sehingga out put pembelajaran yang dihasilkan adalah lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah tempat tinggalnya.

Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, dilakukan penilaian secara sistematis. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, penilaian dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Satuan pendidikan atau sekolah juga harus melakukan penilaian kepada siswa untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) semua mata pelajaran melalui ujian sekolah. Namun selain penilaian dari kedua pihak tersebut adalagi penilaian yang dilakukan oleh pemerintah untuk menilai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu kelompok mata pelajaran iptek melalui Ujian Nasional (UN).

Ujian Nasional Bukan Representasi Pencapaian Kompetensi Siswa

Pertanyaan yang boleh diajukan adalah perlukah ujian nasional dilakukan untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan? Padahal guru dan sekolah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses pembelajaran pun sudah melakukan penilaian yang menurut hemat saya sudah sangat representatif untuk mengetahui kompetensi siswa, bahkan hasilnya lebih valid dalam menggambarkan pencapaian belajar siswa karena dilakukan secara berkesinambungan dan disesuaikan dengan kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran siswa.

Permasalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah banyaknya praktek kecurangan, mulai dari joki jawaban ujian sampai dengan mark up nilai ujian nasional. Tuntutan nilai ketuntasan minimum yang semakin tinggi adalah salah satu indikasi penyebab praktek kecurangan dalam ujian nasional. Nilai 6,5 adalah standar nilai minimum yang menurut saya pribadi terlalu tinggi untuk standar ujian nasional, jika dilihat dari kemampuan rata-rata siswa dalam menjawab soal. Realitas yang ada pencapaian hasil belajar siswa pada penilaian-penilaian yang sudah saya temui di lapangan secara murni pada siswa yang mempunyai kemampuan rata-rata hanya berkisar 40-50 persen. Bagaimana mungkin pemerintah yakin dengan meninggikan standar nilai minimum sampai dengan 6,5 dapat meningkatkan kualitas lulusan yang juga secara korelasi positif dapat meningkatkan human development index manusia Indonesia. Yang ada hanya semakin maraknya simulasi dalam dunia pendidikan Indonesia.

Kasus gugatan yang diajukan oleh Kristiono dan kawan-kawan terhadap presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua BSNP, adalah satu contoh kasus dari permasalahan yang timbul dari ujian nasional. Mereka menilai pemerintah lalai dalam memenuhi kebutuhan hak asasi manusia di bidang pendidikan. Kalau kita analisis lebih lanjut kondisi di lapangan, ujian nasional memang banyak memberikan dampak negatif, baik terhadap siswa maupun pihak-pihak lain yang terkait. Bukan suatu rahasia lagi kalau ujian nasional dijadikan ajang kepentingan politik oleh pihak-pihak tertentu.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 66 menyebutkan bahwa ujian nasional adalah salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah, bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi. Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian hasil belajar di perguruan tinggi, yang proses penilaiannya hanya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (perguruan tinggi) yang bersangkutan. Jika pada perguruan tinggi saja penilaian bisa dilakukan oleh dosen dan perguruan tinggi yang bersangkutan saja, maka tidak akan ada masalah berarti jika saja ujian nasional dihapuskan, karena pada tingkatan perguruan tinggi pun penilaian yang dilakukan oleh pendidik dan perguruan tinggi yang bersangkutan sudah representatif untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan.

Kalau pemerintah mengatakan bahwa hasil ujian nasional dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam seleksi penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi, maka hal itu bisa dinegasikan karena perguruan tinggi bisa melakukan penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi ujian masuk perguruan tinggi. Penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus pun masih bisa menggunakan nilai hasil ujian akhir sekolah dan raport, karena hasil ujian akhir sekolah dan raport juga sudah memenuhi standar kompetensi lulusan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Artinya alasan apapun yang menjadi pertimbangan agar ujian nasional tetap digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar atau sebagai alat untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi lulusan secara nasional bisa terbantahkan.

Untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah, karena satuan pendidikan (sekolah) biasanya melakukan pelaporan hasil belajar siswa secara berkala kepada dinas pendidikan yang menaungi sekolah tersebut. Selain itu pemerintah pusat punya badan khusus yang disebut dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan yang ditetapkan BSNP yang terdiri dari standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan adalah acuan bersama satuan pendidikan dalam mengelola proses pembelajarannya.

Untuk mensinergiskan pencapaian minimal profesionalitas pendidikan mungkin keberadaan badan bagian dari pemerintah yang capable dalam memformulasikan standar minimal secara nasional seperti BSNP diakui sangat dibutuhkan. Namun formulasi yang dilakukan hendaknya secara konsep dan teori adalah sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran oleh satuan pendidikan. Pelaksanaannya dikembalikan lagi ke satuan pendidikan, disesuaikan dengan sejauh mana pemerintah daerah tempat satuan pendidikan tersebut bernaung dalam memberikan dan meningkatkan fasilitas yang layak untuk proses pembelajaran.

Kondisi daerah yang berbeda pastinya memberikan pengaruh terhadap satuan pendidikan yang dinaunginya. Alhasil ini pun berdampak pada hasil belajar siswa yang berada di daerah tersebut. Ujian nasional dengan standar nilai minimal yang sama tidak memungkinkan digunakan karena kondisi tiap daerah tidak sama, ada yang pendapatan daerahnya tinggi sehingga fasilitas belajarnya lengkap dan menunjang pembelajaran siswa dan tidak dinafikan pula masih banyak daerah tertinggal di negeri ini yang tentunya hanya memenuhi kebutuhan fasilitas belajar satuan pendidikan di daerahnya seadanya atau bahkan jauh dari standar nasional yang sudah ditetapkan.

Masih jauh saya pikir masanya untuk menjadikan ujian nasional sebagai standar penguasaan kompetensi siswa dengan semua kondisi yang sudah kita lihat di lapangan. Masih banyak satuan pendidikan dan daerah yang belum siap dengan pemberlakuan standar nasional yang sama rata karena kondisinya yang berbeda-beda. Karenanya jangan kita korbankan siswa hanya untuk memenuhi egoisme kita dalam mencapai sesuatu yang belum semestinya, memaksa kita untuk berpura-pura buta dengan realita pendidikan yang ada saat ini. Semua yang ideal harus melalui proses. Mungkin ada baiknya jika selangkah demi selangkah kita perbaiki kondisi pendidikan di Indonesia. Pencapaian standar ketuntasan belajar siswa yang saat ini lebih memungkinkan diserahkan kepada pendidik dan satuan pendidikan yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pembelajaran siswanya adalah satu jawaban yang sangat realistis. Jika pembangunan daerah sudah merata dan fasilitas pembelajaran pun menunjang, perlahan demi perlahan sistem pendidikan kita akan menuju ke bentuk yang lebih sempurna yaitu pencapaian standar pendidikan yang merata secara nasional.****