KDRT: Antara Cinta dan Derita

Ada pernyataan seorang aktris yang sangat menggelitik pikiran saya, katanya “there is a subconscious way of taking violence as a way of expression, as a normality and it has a lot of affects in the youth in the way they absorb education and what they hope to get out of life.” Salma Hayek, aktris ini yang pernah mengatakan bahwa ada cara dari alam bawah sadar kita yang menjadikan kekerasan sebagai suatu ekspresi yang merupakan sesuatu yang normal dan memberikan banyak efek terhadap anak muda dalam menyerap pendidikan dan apa yang mereka harapkan keluar dari kehidupan. Kondisi inilah yang selalu berhadapan dengan kita. Seakan-akan kekerasan itu sudah menjadi pandemi yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat menganggap hal yang lumrah jika melihat kekerasan, baik yang terjadi di wilayah domestik maupun publik.
Menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2010, ada sebanyak 96 persen kekerasan terjadi di dalam rumah tangga. Angka yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan tingkat kekerasan yang terjadi di wilayah publik. Di belahan dunia lain, di Arab misalnya, dipastikan bahwa dari tiga orang perempuan satu di antaranya mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ada apa dengan lembaga pernikahan para makhluk yang berperadaban ini? Bukankah setiap rumah tangga itu dibangun di atas rasa cinta, antara suami dan istri, antara orang tua dengan anak-anaknya? Jika memang benar bahwa rumah tangga dibangun atas dasar cinta, mengapa kekerasan malah marak terjadi di dalamnya?
Menurut definisi UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. Secara aktivitas, bentuk tindakan kekerasan ini seperti menyakiti dan mencederai secara fisik maupun psikis emosional yang mengakibatkan kesakitan dan distress (penderitaan subyektif) yang tidak dikehendaki oleh pihak yang disakiti yang terjadi dalam lingkup keluarga (rumah tangga) antar pasangan suami istri (intimate pastners), atau terhadap anak-anak, atau anggota keluarga lain, atau terhadap orang yang tinggal serumah (misal, pembantu rumah tangga). Kekerasan antara pasangan hidup adalah bila salah satu orang berusaha mengintrol (memanipulasi) yang lain dengan menggunakan ancaman (intimidasi), rasa ketakutan, dan penganiayaan fisik. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam pasangan heteroseksual dalam perkawinan, maupun sesudah perceraian, atau dalam pasangan homoseksual. Elemen kunci di sini adalah intimidasi, membuat malu dan cedera fisik.

Kekerasan sebagai Identitas Kekuasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dijadikan sebagai identitas kekuasaan dari seseorang yang memegang kendali dalam suatu sistem. Kita banyak menemukan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban tindak kekerasan sang suami, atau anak yang menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan oleh ayah maupun ibunya. Sepertinya dari kondisi tersebut dapat kita lihat terdapat korelasi antara kehausan bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, bahwa dialah yang memiliki kekuatan (power) dan karenanya dia pn merasa pantas melakukan apa saja termasuk kekerasan baik terhadap istri maupun anaknya.
Seperti fenomena gunung es, kekerasan dalam rumah tangga tidak banyak muncul di permukaan. Banyak perempuan yang menganggap bahwa masalah rumah tangga adalah wilayah privat yang tidak layak untuk diwacanakan ke wilayah publik. Anggapan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah aib dan rahasia yang harus dijaga membuat kita kesulitan dalam menyelesaikan permasalah tersebut. Ketika ada dua orang, laki-laki dan perempuan berkelahi di tengah pasar misalnya, kita yang melihat dan mengetahui bahwa mereka adalah suami istri akan segera meninggalkan mereka dan mengatakan bahwa itu masalah internal rumah tangga orang lain, biarkan saja mereka yang menyelesaikan.
Fenomena gunung es ini semakin laten karena ada beberapa prinsip yang membudaya di tengah-tengah masyarakat kita. Di antaranya sistem patriarkat yang memberi tempat dominan kepada kaum laki-laki untuk menjadi kepala rumah tangga dan sekaligus penentu kebijakan dalam rumah tangga, sehingga anggota keluarga mengintrodusir nilai kepatuhan/loyalitas hanya kepada ayah dan bukan ibu. Terdapat kasus jika perkawinan itu maharnya telah dilunasi, ada anggapan bahwa suami boleh melakukan apa saja terhadap isteri. Di lain pihak, biasanya perempuan lebih memilih “aman”nya saja, tidak mengapa dia terluka asal jangan broken home, karena secara finansial suami yang menafkahinya dan anak-anaknya.
Gejala lain yang biasanya menimpa perempuan saya sebut masokhisme. Saya mengartikannya dari sudut pandang psikologi sosial, karena kebanyakan perempuan legowo menerima tindak kekerasan yang terjadi padanya atas dasar cinta. Mereka lebih memilih menerima perlakuan kekerasan daripada bercerai karena sangat mencintai pasangannya, takut menelantarkan anak-anak sehingga dengan sadar atau tidak, terpaksa atau tidak terpaksa, mulai terbiasa dengan perlakuan keras yang mereka dapatkan hingga terjebak dalam kenikmatan semu tersebut. Bisa jadi paparan kondisi-kondisi ini yang membuat marak tindak kekerasan terjadi dalam rumah tangga.
Jika kita berbicara masalah hak asasi manusia maka kekerasan adalah kejahatan yang melanggar hak orang lain. Istri maupun anak adalah makhluk yang sudah mempunyai hak hidup dari sejak lahir, hak untuk dihargai dan mendapatkan perlakuan hidup yang pantas. Bukan barang milik suami. Bukan karena suami sudah memberi nafkah maka ia berhak untuk memperlakukan istri maupun anak sebagai benda yang bisa dirusak untuk memenuhi kebutuhan pengakuan kekuatannya. Istri dan anak selaku makhluk yang menerima perlakuan kekerasan akan menyerap perlakuan tersebut dan mengalami gangguan yang berpeluang secara laten hinggap di alam bawah sadarnya. Tekanan jiwa atau depresi baik dari yang ringan sampai dengan yang berat akan menghambat kehidupan mereka, tidak produktif dan menikmati indahnya kehidupan selanjutnya.

Upaya Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Segala upaya harus kita lakukan untuk mengurangi dan menghapus tindak kekerasan di sekitar kita. Melibatkan semua pihak yang terkait dan mengupayakan pihak-pihak tersebut dapat menjalankan fungsinya secara sinergis. Kita sebagai perempuan, pihak yang rentan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga sudah seharusnya membentengi diri dari perilaku tersebut. Mulailah untuk menanamkan kesadaran pada diri sendiri bahwa kita mempunyai hak yang sama dengan mereka, hilangkan rasa bahwa perempuan mempunyai posisi subordinat dari laki-laki karena rasa tersebut turut memberikan kontribusi yang cukup besar atas rasa penerimaan kita diperlakukan tidak pantas oleh mereka. Bukan cinta kalau pasangan kita memperlakukan kita dengan tidak terhormat.
Prinsip memulai dari yang terkecil dan dari yang terdekat akan sangat efektif dalam upaya penghapusan tindak kekerasan di sekitar kita. Pendidikan juga sangat memegang peran yang sangat signifikan dalam memberikan pemahaman relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Kita bisa mengajarkan anggota keluarga untuk tidak membedakan jenis kelamin dan tugas, supaya mereka, anak-anak kita dan saudara kita lainnya tidak terdikotomi dalam perbedaan-perbedaan. Penguatan untuk saling menghargai sebagai sesama makhluk, saling mengasihi dan menanamkan bahwa setiap orang punya hak asasi yang tidak boleh dilanggar.
Pihak-pihak lain yang bisa dilibatkan tentunya punya program yang dapat dilaksanakan dengan baik. Pemerintah dengan hak legislasi, eksekusi dan yudikasinya melaksanakan peranannya dalam skup keluarga yang lebih luas. Ditambah lagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok-kelompok sosial memberikan dukungan penuh dalam penegakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan konvensi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Semoga harapan untuk hidup dengan damai tanpa kekerasan bisa kita capai. Salam kesetaraan dalam keberagaman.


Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
(Al-Hujurat : 10)