Mencoba Menggali Kembali Part 3


Absurditas kian hari akan memenuhi kepalamu karena kondisi keseharianmu yang tak memberikan makna apa-apa. Cobalah engkau rasakan keberadaanmu, apakah kau merasakan sesuatu yang rasanya mirip-mirip dengan ketiadaan. Atau jika kau sulit memaknai arti ketiadaan, aku akan merangkum maksudku dalam satu kata "hampa". Yah, benar… Hampa. Aku juga merasakan hal yang sama denganmu, kehampaan.

Banyak ketidakadilan dan ketidakbecusan yang terjadi di sekelilingmu. Yang kau sebenarnya tak kan bisa menutup mata dengan kejadian-kejadian itu. Pejabat yang meminta suap, atasan yang korup, bawahan yang tertindas, remaja yang terseret dalam dunia pergaulan bebas dan narkoba, anak-anak yang berperilaku over dewasa karena otaknya tergerus oleh maraknya veyourisme yang berkembang di media massa. Globalisasi yang memberikan efek yang tanpa kita sadari mengubah pola pikir dan budaya manusia. Kondisi ini memang sudah mengakomodir para orang tua untuk berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang secara cepat dan keuntungan instan karena tuntutan kebutuhan hidupnya yang semakin tinggi. Remaja dan anak-anak juga terpola dengan sempalan corak budaya yang terbawa oleh proses komunikasi peradaban, yang semakin sulit dibedakan mana yang merupakan bagian budaya yang bisa memperkaya khazanah dan mana yang merupakan perang pemikiran yang sengaja diselipkan untuk merusak pola pikir dan kebiasaan generasi muda.

Belum lagi kondisi stabilitas politik negeri yang kacau. Pemerintah yang tak pernah selesai mengurusi internal sistem dan strukturnya. Sibuk dengan kesepakatan-kesepakatan politis yang didasari oleh kepentingan-kepentingan individu. Yang didalamnya hanya ada nafsu berkuasa, tanpa dikuti oleh kesadaran bahwa mereka yang sudah berani mengajukan diri sebagai pemimpin negeri ini harus bisa mempertanggungjawabkan secara moral dan agama atas keangkuhan mereka, merasa mampu menjadi pemimpin, padahal tidak bisa adil dan sensibel dengan kondisi kalangan bawah. Bagaimana bisa menyelesaikan program yang menjawab kebutuhan rakyatnya jika mereka terus sibuk dengan urusan bagi-bagi kekuasaan, yang satu merasa tak cukup dengan jatah yang diberikan lalu membuat ulah, yang satu lagi sikut kanan kiri karena ketidakpuasan dengan jabatan yang diberikan, padahal kapabilitasnya dalam menjalankan tanggung jawab pun dipertanyakan.

Aku yang sampai sekarang masuk dalam sistem pemerintahan pun masih hanya bisa menduduki posisi sebagai penggembira, yang keberadaannya masih hanya diakui di atas kertas, tapi bukan berarti apa-apa dengan legalitas formal itu. Ingin menjerit rasanya melihat duniamu yang abu-abu itu, yang tidak bisa dibedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang baik mana yang jahat, mana yang dilandasi dengan kejujuran, mana yang dengan kemunafikan bertopeng ketulusan. Merangkak dalam pemikiran yang absurd, yang suatu saat bisa goyah karena tembok pertahanan dihantam dengan beragam serangan. Selalu datang tuntutan untuk bisa beradabtasi agar tidak tergilas oleh kondisi. Yang bisa aku perankan sekarang adalah sebagai seseorang yang seperti chameleon, berubah warna mengikuti warna-warna di sekitarnya, tetapi tetap memasang mata awas dengan perubahan sekitar. Tentu kau tahu semua itu dilakukan untuk mempertahankan diri dari serangan. Tapi semoga hanya penampakan luar yang berubah, darah tidak. Semoga kalaupun chameleon harus berada di daerah bersuhu dingin, tubuhnya tetap berdarah panas.

Simpan suaramu dulu, karena saat ini bukanlah saat yang tepat untuk bersuara. Ikuti saja dulu semuanya dengan perubahan warna, tapi jangan sekali-kali lengah. Dan aku maafkan kau chameleon, hari ini kau masih mementingkan keselamatan dirimu. Suatu saat nanti akan tiba masanya chameleon tidak merubah warna tubuhnya lagi, dan mulai berbagi dengan makhluk-makhluk yang hidup berdampingan dengannya, baik yang hidup melata, berjalan ataupun yang mengepakkan sayap di udara. Semoga masa itu segera menghampiri.