Yes En No

Ada alkisah tentang seorang raja yang dihormati oleh rakyatnya. Pada waktu pesta rakyat, ia datang dan bergabung dengan mereka. Satu per satu tangga pun dituruni dengan tepuk sorai dari seluruh rakyat. Ketika sampai di bawah, sang istri yang sangat cantik berlutut di hadapannya, betapa ia begitu dipuja oleh semua orang di sana. Dan ia merasa sangat senang dengan penghargaan tersebut. Kondisi dealektis ini menggambarkan situasi kesombongan raja akibat pujian para penjilat, "rakyat".

Setelah itu ia pun kembali ke singgasana yang berada di atas. Ketika ia menapaki satu tangga, terdengar suara cekikikan seorang anak, naik tangga kedua, seorang tua pun bersiul, dan menapaki tangga selanjutnya terdengar riuh suara tertawa dan cacian. Begitu ia dibuat malu oleh kondisi tersebut.

Maka esok harinya ia pun meminta arsiteknya untuk membuat tangga yang terus masuk sampai ke dasar bumi. Dan akhirnya pada selanjutnya, sang raja yang menapaki tangga terus turun ke bawah beserta yang lainnya tidak dapat kembali lagi karena mati kena panas bumi. Nah, dari cerita di atas, kita bisa dapat satu pelajaran bahwa kesombongan akhirnya berakhir di neraka.

Si Iwan, seorang direktur yang bergelimang harta, dia berada "0n the top of cloud-ten" dan para opsir yang memakai pakaian seragam mungkin merasakan mendapatkan penghargaan lebih karena simbol yang digunakannya. Timbul satu pertanyaan dari kondisi tersebut, apakah kebanggaan itu sama dengan kesombongan? Maka jawaban yang muncul adalah ada yang disebut kebanggaan yang baik dan kebanggaan yang tidak baik. Tentu beda antara kesombongan dan kebanggaan, karena kesombongan itu adalah kebanggaan yang tidak baik.

Seperti halnya revolusi pada masa orde baru. Revolusi atau perubahan adalah baik, tapi G30 S PKI itu tidak baik. Atau perbedaan antara rendah hati dan ga pede. Rendah hati akan dimiliki oleh setiap orang yang kenal sama kondisi dirinya dan tahu sapai sejauh mana kemampuannya. Dan ketika ia menampilkan dirinya yang sebenarnya itulah yang disebut dengan rendah hati.

Maka benarlah pernyataan, "Bangga yes, sombong no. Revolusi yes, G30 S PKI no. Rendah hati yes, yes, ga pede no..."

Be Adult...

Ternyata dirimu sekarang sudah seperti orang dewasa sayang. Padahal dulu kita pernah berikrar dan berjanji kita tidak akan menjadi dewasa. Kita tidak mau menjadi dewasa, karena orang dewasa menilai segala hal dengan angka. Coba tanya kepada orang dewasa (atau yang kelihatannya dewasa), bagaimana gambaran tentang sebuah rumah yang indah. Yang pertama kali terucap pasti nominal. Mereka akan menyebut sejumlah angka dengan banyak nol lebih dari delapan angka untuk harga sebuah rumah yang mereka sebut indah. Atau ketika mereka berkenalan dengan orang, apa yang akan mereka tanya, pasti berapa umur kamu, atau berapa jumlah saudara kamu dan bahkan bisa saja mereka tanya berapa penghasilan kamu. Bah, menjadi dewasa sungguh membosankan. Mereka kehilangan "taste" hidup.

Dan kondisi ini pun menimpa diriku sayang. Aku mulai menilai segalanya dengan angka. Aku ga bisa menggambarkan lagi tentang sebuah rumah yang indah misalnya adalah rumah yang di jendelanya tumbuh bunga geranium berwarna ungu, dan temboknya berwarna jingga. Aku sudah mulai ga punya "taste" hidup. Karena selalu disibukkan dengan angka dan angka. Bagiku memberikan pertanyaan "apa hobi kamu", "apa musik favoritmu", adalah sesuatu yang tidak penting lagi. Duh, aku mulai menjadi dewasa. Padahal itu adalah sesuatu yang kuhindarkan dari dulu. Menjadi orang dewasa adalah yang paling menyebalkan. Karena mereka selalu memerlukan jawaban dan alasan untuk segala hal. Bahkan tidak cukup dengan satu kalimat untuk menjelaskan satu kondisi.

Dan aku ingat dengan yang dikatakan teman yang lain, bahwa aku adalah pecundang. Karena aku takut menghadapi kenyataan. Kenyataan menjadi dewasa. Kenyataan berubah menjadi orang lain (itu yang selalu ada dibenakku, menjadi dewasa adalah menjadi orang lain, karena kita berubah seperti ular berganti kulit, walaupun toh tidak tampak berbeda dari luar, tapi kulit itu tidaklah kulit yang sama dengan sebelumnya). Dan untuk saat ini aku pun masih diliputi keraguan, apakah aku seorang pecundang karena aku takut menjadi dewasa? Ataukah seperti dibenakku yang satu lagi bahwa aku tetap mempertahankan idealitas manusiaku, bahwa menjadi anak-anak adalah satu hal yang sangat baik bagiku, karena aku akan tetap bisa merasakan segala hal dengan lebih alami, menerima segalanya seperti adanya tanpa perlu complain dengan kondisi yang ada, tanpa perlu penjelasan panjang untuk pertanyaan yang ada dibenakku.

Entahlah... Tapi dalam hati kecilku, aku masih ingin tetap menjadi seorang anak-anak...