Kita Semua Anak Ibu Pertiwi

Dalam sebuah buku yang sering dicetak, pengarang mulai dengan pertanyaan, "Untuk apa kita hidup di dunia ini?" Berjuta-juta orang yang membaca buku itu, memberi jawaban yang ditulis pengarang bahwa kita hidup di dunia ini untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan begitu masuk surga.



Pada zaman sekarang, jawaban ini tidak akan sejelas jawaban 100 tahun yang lalu, karena baik istilah Tuhan maupun istilah surga sudah kehilangan makna. Kita bisa coba tanya, apakah masih banyak orang pada saat ini menyiksa otaknya dengan pertanyaan itu. Waktu mereka mereka masih hidup dan menikmati TV dan majalah pasti tidak. Tapi kalau saat dokter memberitahu bahwa hidupnya mulai berakhir dan maut sudah dekat, mungkin ya.



Kalau tirai sandiwara ditutup, kita terpaksa meninjau panggung dari ruang penonton. Dengan mati sebagai latar belakang, dunia menjadi suatu tempat yang lain dari dunia akhirat. Dan mau tidak mau muncul pertanyaan, untuk apa ada hidup? What is the meaning of my life? Dan banyak orang yang mungkin tidak bisa memberikan jawaban lain daripada orang yang ada di ranjang maut melihat istrinya, anak-anak, dan cucu-cucunya dan mengatakan, "Aneh, aneh sekali!"

Sang tua, telah hidup 80 tahun. Dan ia tidak pernah merasa heran tentang pertanyaan: dari mana saya, ke mana, apa gunanya hidup dengan begitu banyak susah. Baru waktu ia mau meninggal, ia melihat panggung sandiwara hidupnya dan heran, tetapi keheranannya tidak lain daripada rasa heran sang borjuis yang hanya bisa mengatakan: aneh, aneh.

Semboyan "marilah kita menikmati hidup; sekarang kita masih ada, besok kita telah mati" adalah falsafah yang cukup murah, tetapi juga cukup tersebar. Mungkin banyak orang tidak memikirkan soal alam dan hidup, karena mereka tidak ada bakat untuk berpikir abstrak dan metafisis.

Kapan engkau harus menghadapi penyelesaian dari cerita yang disebut hidup? Pertanyaan itu katanya sering dipikirkan orang Barat, menjadi darah dan daging dari kepribadiannya, dan perbuatan-perbuatannya dikandungkan dalam pikiran mengenai tujuan hidup. Tetapi orang Timur memiliki pikiran yang lain. Konfutze tidak suka memikirkan akhir hidup karena hidup di dunia ini belum terang. Bagaimana kita akan memikirkan apa yang terjadi di seberang kuburan?

Dan Buddha yang penuh cahaya mengubahkan segala keragu-raguan menjadi ketenangan dan cahaya sehingga semua pertanyaan hilang. Karena itu, kita bisa bertanya apakah manusia dapat menghadapi soal hidup dan alam tanpa apriori dari pendidikan dan pengalaman.

Kita tidak memikirkan pertanyaan itu sbg manusia, tetapi itu sebagai laki-laki atau perempuan, sebagai Islam atau katolik, sebagai ateis atau orang yang percaya ada Tuhan.

But, bagaimana orang bisa mengetahui apakah dia mendapat karunia keselamatan atau apakah di sebelum penciptaan dunia sudah menjadi mangsa setan?

Sebagian besar dari manusia percaya ada Tuhan dan berpendapat bahwa tujuan hidup tidak di sini letaknya, melainkan di seberang kuburan. Ada lain yang melibatkan dirinya dalam usaha duniawi dan mereka merasa berbahagia dalam pekerjaannya dan tidak merasa perlu memikirkan soal-soal pelik tentang maut dan hidup sesudah mati. Golongan lain lagi tidak menghargai dunia, tetapi juga merasa asing di dunia.

No comments:

Post a Comment